Rabu, 13 Mei 2009

TERNYATA DESA MINANGA (YANG DULU TERMASUK DALAM KEC. CEMPAKA KAB. OKU TIMUR) ADALAH IBU KOTA KERAJAAN SRIWIJAYA

Di Mana Pusat Sriwijaya?????
Ternyata Desa Minanga (yang dulu termasuk dalam Kec.Cempaka Kab. OKUT) adalah Ibu Kota Kerajaan Sriwijaya


Kerajaan Sriwijaya (683-1377 M) adalah kerajaan maritim tertua di Indonesia dan merupakan kerajaan pertama di Nusantara yang menguasai banyak wilayah : seluruh Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Mindanao. Karena wilayah kekuasaannya itu, Sriwijaya di dalam literatur sejarah suka disebut sebagai Negara Nusantara I. Dalam hal keberadaannya, Sriwijaya punya periode kekuasaan tiga kali lebih panjang daripada Majapahit, meskipun Majapahit juga yang menaklukkan Sriwijaya.
Para ahli sejarah, arkeologi dan ilmu-ilmu yang terkait (termasuk geologi), pernah bersilang pendapat soal pusat kerajaan besar ini. Literatur-literatur sejarah pernah menyebut pusat-pusat kerajaan ini di : Palembang, Jambi, Malaya, Thailand, bahkan Jawa.

Adalah I-Tsing (Yi-Jing), musafir Cina yang belajar agama Budha di Sriwijaya yang menyebutkan bahwa pusat/kota Sriwijaya terletak di daerah khatulistiwa. I-tsing mendeskripsikan tempat itu sebagai : “apabila orang berdiri tepat pada tengah hari, maka tidak akan kelihatan bayangannya”. Coedes, ilmuwan Prancis sejak awal abad ke-20 mengajukan argumen bahwa pusat Sriwijaya terletak di sekitar kota Palembang sekarang(dalam Robequain, 1964, “Malaya, Indonesia, Borneo, and the Philippines”, Longman Sukmono, arkeolog Indonesia pada suatu Kongres Ilmiah Pasifik tahun 1957 (dipublikasi dalam “Geomorphology and the location of Criwijaya”, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, April 1963) menantang argumen/hipotesis Coedes dan menyatakan bahwa pusat Sriwijaya di Jambi. Ini didasarkannya kepada analisis geomorfologi yang didukung foto udara. Sukmono diinspirasi oleh ahli geomorfologi Belanda Obdeyn yang pada tahun 1941-1944 mempublikasi seri paper tentang perkembangan geomorfologi Sumatra Selatan (dalam Tijdschrift. Kon. Ned. Aardr. Gen no 59-61 - hasil penelitian ini digunakan juga oleh Bemmelen (1949) dalam adikaryanya “The Geology of Indonesia”
Tahun 1954, Sukmono dibantu Angkatan Udara RI merekonstruksi pantai timur Sumatra di sekitar Palembang dan Jambi melalui telaah fotogrametri. Sukmono menemukan kesimpulan menarik : semua situs peninggalan Sriwijaya baik yang di sekitar Palembang maupun Jambi berlokasi bukan di tanah aluvial, tetapi di tanah perbukitan berbatuan sedimen Neogen. Penelitian ini pun menemukan bahwa Jambi dulunya berlokasi di suatu teluk pada muara Sungai Batanghari. Teluk tersebut menjorok masuk ke daratan sampai wilayah Muaratembesi sekarang. Sementara itu, Palembang justru terletak di sebuah ujung jazirah yang memanjang ke laut berpangkal dari Sekayu sekarang. Baik Jambi maupun Palembang saat ini berjarak 75 km dari laut di sebelah timurnya.
Sukmono berkesimpulan, sebagai kerajaan maritim yang besar, Sriwijaya sebgai bandar besar lebih mungkin terletak di tepi sebuah teluk yang besar daripada di ujung jazirah yang sempit. Sukmono juga mengajukan argumen-argumen arkeologi di samping argumen geomorfologi.
Pendapat Sukmono mendapat dukungan dari Sartono, geolog dan arkeolog ITB, juga Slametmuljana, ahli sejarah (dalam Slametmuljana, 1981 “Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi”, Yayasan Idayu). Sartono berpendapat bahwa teluk di sekitar Jambi saat zaman Sriwijaya begitu besarnya sehingga orang mengira bahwa itu merupakan perbatasan antara Swarnadwipa (Jambi ke utara) dan Jawadwipa (Palembang, Lampung dan Jawa). Selat Sunda belum diketahui adanya atau mungkin belum seluas sekarang, hanya teluk besar saja bukan selat (lihat tulisan saya terdahulu soal “para pendahulu Tarumanegara” di milis ini). Harrison (1954) “Zuid-Oost Azie : en beknopte geschiedenis” berpendapat bahwa Selat Sunda terbentuk akibat tenggelamnya wilayah ini akibat volkanisme dan gempa-gempa Krakatau sepanjang masa.
Masih menurut Sartono, di sekitar Jambi pada zaman Sriwijaya terdapat sebuah teluk purba yang dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh. Ini memanjang ke arah tenggara dan menjadi perbukitan Bukit Bakar dan Bukit Tutuhan serta Teluk Sirih. Ke arah barat, teluk tersebut berhenti di Pegunungan Barisan dan bercabang menjadi dua teluk kecil yaitu Teluk Tebo dan Teluk Tembesi. Di antaranya, terjepitlah Bukit Duabelas. Di Teluk Tebo bermuara Batang Tembesi dan anak-anak sungainya.
Adapun kota Palembang menempati suatu ujung jazirah sempit yang berupa bukit setinggi 26 meter di atas permukaan laut. Inilah yang dinamakan Bukit Seguntang (”guntang” dalam bahasa Melayu Kuno berarti terapung). Memang, ujung jazirah ini seolah-olah terapung diapit dua teluk sempit.
Maka berdasarkan analisis paleogeografi (paleogeomorfologi), Sukmono dan Sartono berpendapat bahwa kota Sriwijaya yang besar tak mungkin berlokasi di suatu wilayah tanah genting berupa ujung jazirah sempit seperti Palembang, tetapi di kota Jambi yang terletak di tepi teluk yang besar (bandingkan dengan kota Jakarta yang berlokasi di tepi Teluk Jakarta).
Namun, pendapat Sukmono dan Sartono bukan merupakan pendapat final sekalipun cukup meyakinkan. Tahun 1982 diadakan kongres internasional khusus mendiskusikan lokasi pusat Sriwijaya (Daldjoeni, 1992 “Geografi Kesejarahan, Alumni). Kongres dihadiri para ahli dari Indonesia, Prancis, Belanda dan Thailand. Para ahli bersepakat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya pada masa awal berlokasi di Palembang kemudian pindah ke Jambi. Kapan masa awal itu ? Antara abad ke-7 sampai abad ke-9, kata Casparis ahli dari Prancis. Casparis pun berpendapat mungkin saja kedua kota itu bersama-sama jadi ibukota Sriwijaya. Palembang wajar jadi ibukota kerajaan, di samping diapit dua teluk, terdapat Pulau Bangka di depannya yang merupakan jalur memutar dari Malaka menuju Cina (dulu belum ada jalan laut di antara pulau-pulau Kepulauan Riau). Ini posisi strategis sebagai bandar. Manguin, arkeolog Prancis mendukung pendapat itu sebab banyak prasasti menyebut Palembang, juga ada catatan-catatan dari para pelaut Portugis. Namun reruntuhan pusat kerajaan belum ditemukan diPalembang.
Mengapa Sriwijaya mundur ? Robequain (1964) berpendapat bahwa kemunduran terjadi akibat pendangkalan pantai-pantai timur Sumatra dan sedimentasi muara-muara sungainya. van Bemmelen (1949) menulis bahwa garis pantai di muara Batanghari telah maju setahun rata-rata 75 meter, sedangkan garis pantai di muara Musi telah maju setahun rata-rata 125 meter. Sedimentasi Musi lebih tinggi dibandingkan Batanghari, mungkin itu pula yang membuat Sriwijaya memindahkan ibukotanya ke Jambi.
Tahun 1377, Raja Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan pasukannya ke Sumatra dan tunduklah beberapa kerajaan di Sumatra termasuk Sriwijaya. Itu adalah babak terakhir Sriwijaya, sebenarnya Sriwijaya telah lemah sejak abad ke-10 saat Dharmawangsa menyerangnya pada tahun 990 M. Perdagangan laut yang mundur seiring lajunya sedimentasi Batanghari dan Musi menjadi pencetus melemahnya Sriwijaya. Sebuah bukti lagi bahwa alam memainkan peranannya dalam bangun dan jatuhnya kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Sesungguhnya sampai sekarang pun kita terus-menerus dipengaruhi alam. Bagaimana menjinakkan semburan LUSI ? Bagaimana mengantisipasi penenggelaman pantai utara Jakarta oleh land subsidence dan transgresi ? Bagaimana hidup berdampingan secara aman di negeri dengan ratusan gunungapi ? Berapa banyak nyawa dan korban harta benda telah direnggut gempa dan tsunami ? Alam punya siklus dan tanda-tanda tertentu yang bisa manusia pelajari. Semoga bijak kita sikapi. Masa lalu tetap berguna untuk masa kini.
Pada tahun 600 Masehi terdapat suku di pedalaman Sumatera Selatan yang di kenal dengan nama suku Sakala Bhra ( purba ) yang berarti Titisan Dewa , suku ini mendiami daerah pegunungan dan lembah bagian utara di sekitar gunung Seminung daerah perbatasan Sumatera Selatan dengan Lampung .
Suku ini terpecah menjadi dua kelompok masyarakat, yang pertama yang mendiami kawasan sekitar gunung Seminung dan turun ke lembah bagian utara sampai ke Lampung kemudian sebagian lagi turun ke daerah bawah dengan mengikuti aliran sungai di daerah huluan sumatera selatan yang kemudian di kenal dengan suku SAMANDA_DI_ WAY yang berarti orang yang mengikuti aliran sungai dan berakhir di Minanga ( Purba ), suku ini yang kelak kemudian asal mula suku Daya, Komering, Ranau,.
Minanga karena kedudukannya di tepi Pantai di tinjau dari berbagai segi memikul beban sebagai ibukota negara. Adapun bahasa yang mereka pergunakan adalah Bahasa Malayu Kuno atau Proto Malayu yang merupakan cikal bakal bahasa komering, didaerah uluan sumatera selatan.
Kerajaan tersebut di pimpin oleh seorang Raja yang hebat dan sakti , yang bernama JAYA NAGA kemudian oleh masyarakat pedalaman di beri Gelar DA-PUNTA-HYANG yang berarti Maha Raja yang Keramat , sekarang pun di daerah uluan sumatera selatan masih dapat kita kenal gelar Pu-Yang untuk orang yang kita anggap sesepuh maupun orang yang mempunyai kesaktian tinggi.
Kerajaan ini kemudian di kenal dengan negeri kedatuan SRIWIJAYA disebut juga dalam kronik ( tulisan ) di negeri china yaitu kerajaan Shi Li Fo Shih
Kerajaan ini setiap tahun nya mengirim utusan ke negeri china tercatat sejak tahun 670 s/d 742 yang pada saat itu di negeri China sedang berkuasa Dinasti Tang ( 618–907 ).
Disebut pada dalm satu tulisan di negeri China bahwa ada kerajaan dari laut china selatan yang selalu mengirim utusannya ke Tiongkok, kerajaan itu bernama Shi-Li-Fo-Shih yang di transeleterasikan menjadi Sriwijaya.
Pada tahun 671 Masehi seorang pendeta China yang bernama It-Tsing mengunjungi kerajaan ini dalam perjalanannya menuju India untuk memperdalam ajaran Budha.
It-Tsing menetap 6 bulan di Minanga ibukota kedatuan Sriwijaya untuk memperdalam bahasa Sansekerta , dengan bantuan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga , It-Tsing Berangkat menuju tanah Melayu ( Jambi ) dan menetap selama 2 bulan sebelum melanjutkan perjalanan melalui Kedah terus keutara menuju India.
Dapunta Hyang Sri JayaNaga sangat di sayangi dan di sanjung oleh rakyatnya karena selain mempunyai kesaktian tinggi juga merupakan pemimpin yang arief , bijaksana dan adil terhadap rakyatnya. Jaya Naga juga seorang penganut Budha yang taat. Dengan Kesaktiannya ia dapat mengetahui dan membaca gerak gerik alam, langit, matahari,bulan, bintang , hawa, hujan, angin, batu, tanah dan hewan, sehingga penduduk kedatuan ini menganggap Jaya Naga merupakan sosok titisan Dewa diatas Brahmana yang merupakan perantara manusia dengan sang Ghaib yang diturunkan ke bhumi untuk menjaga dan melindungi pulau surga (Swarna Dwipa). Setiap kata yang diucapkannya merupakan petunjuk, setiap petuah dan nasehat menjadi adat dan istiadat, kebaikannya merupakan anugerah dan kebahagian bagi penduduk dan kemarahan beliau merupakan malapetaka.
Setiap daerah taklukkannya Jaya Naga selalu menunjuk pemimpin setempat yang di ambil dari Jurai Tua ( sesepuh masyarakat ) untuk menjadi Datu ( Ratu – pemimpin ) di daerahnya sendiri tetapi tetap terikat sebagai bagian dari daerah kedatuan Sriwijaya.
Jaya Naga juga mampu menyatukan beberapa rumpun suku yang ada di daerah pedalaman atau uluan sumatera selatan yang awalnya semua penduduk berasal dari tiga rumpun suku yang mendiami tiga gunung yang ada yaitu Gunung Seminung, Gunung Dempo dan Bukit Kaba, System pemerintahan inilah yang kelak menjadi asal mula system pemerintahan Marga yang ada di daerah uluan sumatera selatan.Kedatuan Sriwijaya terkenal merupakan kerajaan yang makmur dengan hasil alamnya berupa kayu kamper, kayu gaharu, Pinang, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Selain itu juga kerajaan Sriwijaya merupakan pusat kebudayaan agama Budha Mahayana yang mana daerah ini merupakan perlintasan perjalanan para pendeta budha yang ingin memperdalam pertapaannya dari India ke China maupun sebaliknya, dan dalam perkembangannya kerajaan Sriwijaya merupakan pusat Studi agama Budha di kawasan Asia tenggara terutama daerah semenanjung Selat Malaka dan Selat Sunda terbukti dari catatan It-Tsing, kerajaan Sriwijaya mempunyai 1.000 pendeta Budha, pendeta Budha yang cukup terkenal dari Kedatuan Sriwijaya ini bernama Sakyakirti.Penduduk kerajaan ini sebagian merupakan petani dan sebagian lagi merupakan saudagar yang melakukan perdagangan dengan India , Melayu dan China . Pedagang dari Tiongkok dagang ke Sriwijaya dengan membawa keramik ,porselein dan sutra untuk di tukarkan dengan emas, permata dan komoditas lain dari negeri ini yang merupakan tempat dimana komoditas penting pada jaman itu sampai dengan sekarang merupakan kekayaan alam pulau ini sehingga orang pada masa itu menyebut pulau ini dengan Pulau Surga ( Swarna Dwipa ) .
Kerajaan ini di aliri oleh sungai-sungai ( kanal-kanal) kecil yang memasuki perkotaan sehingga perahu merupakan sarana transportasi penting masyarakat kota tersebut sehingga kerajaan ini terkenal dengan armada kapal – kapal yang kuat dan rapi yang kemudian dapat menguasai seluruh kawasan pelayaran di selat Malaka dan selat Sunda .
Pada saat itu pelabuhan Palembang yang merupakan pintu masuk ke perairan sungai-sungai yang ada di uluan sumatera selatan banyak di kuasai perompak-perompak.
Kondisi seperti ini membuat kapal kapal yang berlayar di pantai timur pulau sumatera berlabuh di pelabuhan Melayu ( Jambi ) kemudian melanjutkan pelayaran tanpa memasuki pelabuhan Palembang.
Kisah perkembangan kerajaan Sriwijaya ini dimulai dari apa yang diutarakan dalam Prasasti Kedukan Bukit. Pada Hari kesebelas bulan terang bulan Wai Saka tahun 605, Dapunta Hyang Jayanaga berperahu kembali ke Minanga selepas melakukan pertapaan di gunung Seminung. Dalam pertapaannya Jaya Naga meminta restu dan memohon petunjuk dan kekuatan dari sang Ghaib di Gunung Seminung untuk menaklukkan tempat-tempat yang strategis agar dapat menguasai jalur pelayaran di Laut Cina Selatan di karenakan pada waktu itu Minanga ( ibukota kerajaan ) terletak dalam suatu teluk dimana sungai komering bermuara kurang strategis di pandang dari sudut perdagangan.
Untuk Mewujudkan cita – citanya tersebut Dapunta Hyang Sri Jaya Naga melakukan konsolidasi dengan daerah belakang yang satu rumpun yaitu rumpun Sakala Bhra (Purba). Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga menaklukan daerah yang juga satu Rumpun tersebut yang terletak di sekitar bukit Pesagih di Hujung Langit Lampung Barat dan kemudian semua penduduk di ikat oleh Sumpah setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya. ( Prasasti Hujung Langit – Lampung Barat )
Sepulang dari penaklukan daerah belakang makin kuatlah pasukan kerajaan Sriwijaya yang di dukung oleh pasukan tambahan dari satu rumpun, pasukan atau laskar sriwijaya terkenal akan keberanian, dan kekuatannya.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga mulai melakukan expansi pertamanya yaitu dia harus menaklukan Tanjung Palembang dan menunjuk Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) di daerah palembang sebagai titik temu. Palembang pada jaman itu merupakan kota di pinggir pantai di mana bukit Sigiuntang merupakan tanjung palembang yang menjorok ke laut. Tempat ini adalah dataran tinggi yang merupakan mercu suar atau tempat pintu masuk ke tanjung Palembang yang merupakan akses laut menuju ke sungai sungai yang ada di sumatera.selatan.
Pada peta pantai timur Sumatra purba di tepi pantai timur teluk purba terdapat 2 tanjung yang menjorok jauh kearah laut , kearah utara dengan jambi di ujungnya, dan yang timur menjorok kearah tenggara dengan Palembang berada diujungnya. Tanjung Palembang terbentuk oleh Bukit Siguntang sedang di selatan bukit ini terdapat teluk yang menjorok dalam lagi di mana sungai komering bermuara.
Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga membawa 20.000 ( Dua Puluh Ribu ) pasukannya dengan 1.312 berjalan kaki melalui daratan atau hutan belantara dan sebagian lagi membawa perahu mengikuti perairan. Selama dalam perjalanan terjadilah pertempuran – pertempuran kecil yang tidak terlalu berarti yang merupakan perlawanan dari daerah daerah yang di lintasi oleh laskar Kerajaan Sriwijaya.
Pada tanggal 16 Juni 683 Masehi atau sekitar tujuh hari perjalanan sampailah rombongan pasukan yang di pimpin Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Muka Uphang. Perjalanan pasukan Sriwijaya mendapat kemenangan besar sehingga memberikan kepuasan bagi Sang Raja Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, kemudian Sang Raja memerintahkan untuk membuat bangunan atau rumah ( barak ) untuk tempat para laskar Sriwijaya yang berjumlah 2 laksa laskar Sriwijaya , untuk mengabadikan kemenangan tersebut di pahatlah Prasati Kedukan Bukit.
Setelah Mengadakan konsolidasi di daerah Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) dan kemudian menguasai pelabuhan palembang , maka “ pada hari kedua bulan terang bulan Caitra tahun 606 Saka ( 23 Maret 684 M ) Dapunta Hyang Sri Jaya Naga sangat puas akan kesetiaan rakyat setempat. Oleh karena itu di bangunlah Taman Sriksetra dengan pesan agar semua hasil yang di dapat di dalam taman ini seperti Nyiur, Pinang, Enau, Rumbia dan semua yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, demikian pula halnya dengan tebat dan telaga agar dapat di pelihara sehingga berguna bagi sekalian makhluk. Untuk itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga memohon restu agar ia selalu sehat sentosa terhindar dari para penghianat yang tidak setia, termasuk para abdi bahkan oleh istri-istri beliau. Karena beliau tidak akan menetap lama beliau menambah pesannya : “ Walaupun dia tidak berada di tempat dimanapun dia berada janganlah hendaknya terjadi Curang, Curi, Bunuh dan Zinah di situ. Akhirnya di harapkan doa agar beliau mendapatkan Anuttara bhisayakasambodhi “( Parasasti Talang Tuo )Setahun kemudian terjadilah pemberontakan yang di pimpin oleh Perwira Lokal yaitu Kandra Kayet sehingga menimbulkan korban termasuk salah satu Panglima Perang Sriwijaya terbunuh yang bernama Tan Drun Luah, walaupun demikian Kandra Kayet yang gagah perkasa dapat di di bunuh oleh Dapunta Hyang Sri Jaya Naga dan mati sebagai penghianat.
Untuk mengingat hal ini maka di buatlah suatu prasasti persumpahan untuk mengikat setiap para pejabat lokal yang ada di daerah taklukan agar dapat tetap setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kalau tidak maka akan terkutuklah dan di makan sumpah ( Prasasti Telaga Batu ).
Batu persumpahan yang dimaksud antara lain berbunyi :
“……. kamu sekalian, seperti kamu semuanya, anak raja, bupati, panglima Besar,…….hakim pengadilan……kamu sekalian akan dimakan sumpah yang mengutuk kamu. Apabila kamu sekalian tidak setia kepada kami kamu akan dimakan sumpah. ( 1-6 )”.“ Apabila kamu berhubungan dengan pendurhaka yang menghianati kami …………orang yang tidak tunduk kepada kami serta kedatuan kami kamu akan di bunuh oleh sumpah kutuk ini. ( 7-8 ) “.
“ Apabila kamu menabur emas permata untuk meruntuhkan kedatuan kami atau menjalankan tipu muslihat………..dan apabila kamu tidak tunduk kepada negara kedatuan kami maka terkutuklah kamu akan dimakan dibunuh sumpah kutuk. ( 11-12 ) “.
“ Demikian pula apabila kamu melawan kepada kami di daerah-daerah perbatasan negara kedatuan kami kamu akan dimakan, di bunuh. (13-14).
“ ……lagi pula kami tetapkan pengangkatan menjadi datu dan mereka yang melindungi sekalian daerah negara kedatuan kami putra mahkota, putra raja kedua, dan pangeran lain yang didudukan dengan pengangkatan menjadi datu, kamu akan dihukum apabila kamu tidak tunduk kepada kami ( 19-20 )”.
Secara Geografis palembang adalah tempat yang strategis untuk menguasai lalu lintas pelayaran di Laut China Selatan. Namun kebanyakan pada waktu itu kapal – kapal berlayar singgah di kerajaan Melayu ( Jambi ) yang juga merupakan pelabuhan strategis di pantai timur sumatera kemudian kapal kapal tersebut melanjutkan perjalanannya ke utara tanpa singgah lagi di pelabuhan palembang.
Melihat kondisi seperti ini Dapunta Hyang Jaya Naga berencana untuk menaklukan kerajaan Melayu ( Jambi ) untuk di jadikan wilayah kekuasaan kedatuan Sriwijaya.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga bersama pasukannnya segera menuju Melayu, yang dari semula tanah Melayu sudah di rencanakan untuk di tundukkan.
Pada tahun 685 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, Kerajaan Melaysia takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Melayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya.
Untuk meneruskan perjalanan ke Selatan dengan tujuan akhir adalah bumi Jawa tentu saja Melayu harus segera pula di tinggalkan. Peristiwa pemberontakan Kandra Kayet terus saja terbayang oleh sri baginda dan ini di jadikan sebagai contoh oleh Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kepada setiap pejabat lokal bahwa setiap penghianatan, walau di lakukan oleh seorang perkasa sekalipun dapat di tumpas . kemudian penduduk kerajaan Melayu pun di ikat dengan Sumpah maka di pahatlah prasasti Karang Brahi.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali berangkat dengan melalui lautan berarti harus melalui selat Bangka . Oleh karena itu kerajaan Bangka harus pula di tundukkan lebih dahulu. Setelah menaklukan kerajaan Bangka, Dapunta Hyang Jaya Naga bersiap melanjutkan perjalanannya ke Bumi Jawa, namun sebelum keberangkatan Sri Baginda, penguasa lokal dan rakyatnya harus di beri peringatan dan di ikat dengan persumpahan untuk selalu setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga. Demikianlah pada akhirnya : “ Pada hari pertama bulan terang Waiseka tahun 608 Saka atau tahun 686 Masehi Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga meninggalkan Batu Prasasti Persumpahan yang kita kenal sebagai Parasasti Kota Kapur dan segera menuju Bumi Jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.
Dalam perjalanan Sri Baginda menuju Bumi Jawa masih ada daerah yang berdiri sendiri di pantai timur Sumatera Bagian Selatan, untuk kepentingan keamanan penguasaan laut selatan, kerajaan itu harus pula di tundukan. Kerajaan itu sebenarnya berasal dari satu rumpun wangsa Sakala Bhra. Kerajaan itu adalah kerajaan Ye-Po-Ti ( Way Seputih ) di lampung Selatan. Sama dengan peristiwa- peristiwa lainnya, setiap beliau meninggalkan daerah – daerah yang rawan pemberontakan harus diadakan sumpah setia terlebih dahulu. Sumpah tersebut terpahat dalam Prasasti Palas Pasemah.
Dari Way Seputih Rombongan langsung menuju Bumi Jawa, Dapunta Hyang Sri Jaya Naga mengutus salah Satu Panglima terbaiknya yang juga merupakan kerabat dekat kerajaan yaitu Dapunta Sailendra untuk memimpin pasukan Sriwijaya menuju Bumi Jawa. Dari data yang ada tampaknya mereka menuju Jawa tengah bagian utara.
Pada saat inilah di nyatakan oleh berita di neger China ( Dinasti Tang ) bahwa kerajaan Sriwijaya terpecah menjadi dua bagian masing- masing mempunyai pemerintahan sendiri. ( Kronik Dinasti Tang ).
Pada periode perkembangan kerajaaan Wangsa Sailendra di Jawa Tengah harus melaksanakan perintah Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk membangun candi di Ligor ( Muangthai ) candi tersebut baru selesai tahun 775 di resmikan oleh raja Wisnu dari Wangsa Sailendra.
Sementara itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali ke Minanga untuk melanjutkan memerintah Kedatuan Sriwijaya yang menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka dan Laut China Selatan .Berdasarkan prasasti Kota Kapur, Kerajaan Sriwijaya menguasai bagian selatan Sumatera hingga Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.
akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Budha Sailendra di Jawa Tengah berada di bawah dominasi Sriwijaya.
Masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Di akhir Abad ke 7 ibukota Minanga telah mengalami malapetaka hingga Silap atau hilang secara misterius di telan bumi. Keadaan ini membuat Sri Baginda Dapunta Hyang Jaya Naga bersedih sehingga mengasingkan diri ke Gunung Seminung untuk bertapa sampai akhir hayatnya.
Minanga Ibukota Kerajaan Sriwijaya…….
Nama Minanga ( Komering Ulu Sumatera Selatan ) sebagai nama tempat sudah ada semenjak sebelum Van Rokel membaca prasasti kedukan bukit tahun 1924. Oleh karena itu nama Minanga di Komering Ulu itu bukanlah mencontoh kebesaran nama dalam prasasti kedukan bukit.
Ini terlihat dalam suatu piagam perjanjian tahun 1629 dengan mamakai tulisan Arab-Melayu oleh kesultanan Palembang yang pada waktu itu di berkuasa Sedaing Kenayan mengenai tapal batas Marga Minanga. Piagam tersebut masih tersimpan sebagai dokumen Marga Semendawai Suku III.
Minanga yang kita identifikasikan sebagai ibukota Sriwijaya sekarang adalah merupakan nama dua buah desa yaitu desa Minanga Tengah dan desa Minanga Besar .
Desa Minanga sekarang terletak di daerah rawa-rawa dataran rendah. Daerah yang agak tinggi permukaannya mengelilingi desa-desa tersebut yaitu di sebelah hulu sungai disekitar daerah Betung ( dahulu bernama Kedaton ) di sebelah barat ada dataran tinggi yang membentang sampai ke batas Kedaton dan sungai Ogan. Jadi bahwa kawasan Minanga berada di antara dua daerah yang bernama Kedaton yang berada di pedalaman Sumatra Selatan di pinggir Sungai Komring. Ada yang menarik tentang nama-nama tempat sebagai petanda monumen sejarah yang terdapat di Desa Minanga Komring Ulu dengan menamai kampungnya dengan nama-nama yang memberi kesan seolah-olah tersebut ada bekas pusat suatu pemerintahan antara lain :
1. Kampung Ratu — Menggambarkan komplek Perumahan para Raja-raja
2. Kampung Kadalom — menggambarkan adanya kompleks perkampungan para abdi dalam.
3. Kampung Balak — berasal dari kata Bala atau Laskar kedaton
4. Kampung Binatur — berasal dari kata Batur yang berarti pelayan keraton
5. Pasar Malaka — yang sekarang merupakan ladang penduduk yang di yakini oleh penduduk setempat dahulunya merupakan tempat orang memperdagangkan barang dagangan dari Malaka.
Nama nama tersebut sudah ada sama tuanya dengn nama Minanga komring ulu yang sudah ada sejak sebelum tahun 1629 Masehi Kemudian di kawasan Minanga ini banyak sekali kita jumpai Makam Kuno ( makam keramat ) lebih kurang terdapat 15 makam kuno sepanjang uluan sungai komring yang di kenal dan di percayai oleh penduduk setempat merupakan makam Raja-Raja maupun panglima perang jaman dulu yang menjadi keramat bagi desa desa sekitar.
Antara lain :
- Pu-Hyang ( Puyang ) Ratu Kadi yang berarti Pangeran Mahkota
- Pu-Hyang ( Puyang ) Naga Brinsang yang berarti Raja Naga Ajaib.
- Pu-Hyang ( Puyang ) Kai Alam Basa Berarti Raja Alam berasal dari Dewa.
- Pu-Hyang ( Puyang ) Kai Randah ( Randuh ) yang berarti Raja yang dapat berpndah- pindah tempat.- Pu-Hyang ( Puyang ) Kai Ranggah yang berarti raja banyak Cahang.
- Pu-Hyang ( Puyang ) Marabahu ( diucapkan Marbau ) yang berarti Raja yang berkali-kali mati dan hidup kembali.
- Tan Junjungan ( Puyang Tan Junjungan ) yang berarti panglima yang penuh sanjungan.
- Tan Adi ( Puyang Tan Adi ) yang berarti Panglima Utama
- Tan Aji ( Puyang Tan Aji ) yang berarti Panglima Raja
- Tan Mandiga ( Puyang Tan Mandiga ) yang berarti Panglima yang ampuh.
- Tan Salela ( Puyang Tan Salela ) yang berarti Panglima yang menarik hati- Tan Robkum ( Puyang Tan Robkum ) yang berarti Panglima yang tahan rendam dalam air.
- Tan Hyang Agung ( Puyang Tihang Agung ) yang berarti Panglima dewa Agung
- Tan Minak Batara ( Puyang Minak Batara ) yang berarti panglima turunan Raja
- Tan Mahadum ( Puyang Mahadum ) yang berarti panglima penyelamat.
Jarak Minanga dengan Pantai timur sekarang jika di tarik lurus horizontal lebih dari 100 Km. Karena Minanga berada di pinggir sungai yang sekarang di kenal dengan sungai Komring maka penduduknya di sebut orang Komring. W.V. Van Royen dalam bukunya “ De Palembang Sche Marga ( 1927 ) “ tidak menyebut orang komring tetapi “ Jelma Daya “ . Nama sungai Komring sendiri diambil dari nama seorang yang berasal dari India yang bernama Komering Singh ,makam nya terdapat di sebelah hulu desa Muara Dua , sungai yang mengalir mulai dari makam tersebut tepatnya mulai dari Muara Selabung yang mengalir ke hilir sampai muara Plaju di sebut sungai Komring .
Menurut sejarah Kabupaten Ogan Komering Ulu ( 1979 ) Jelma Daya kelompok pertama yang turun dari gunung Seminung melalui Danau Ranau kemudian seterusnya menelusuri sungai Komring sampai di Gunung Batu adalah kelompok Samandaway. Samandaway berasal dari kata Samanda Di Way yang berarti mengikuti aliran sungai.
Pada tahun 1974 telah ditemukan sebuah arca Budha yang terbuat dari Perunggu ukuran tinggi ±35 cm, tebal 11 cm di temukan 15 km dari desa Minanga yang di temukan tidak sengaja oleh petani setempat yang kemudian menjadi barang koleksi pribadi mantan bupati OKU pada saat itu. Minanga hanyalah monumen sejarah dalam bentuk nama tempat, tapi kawasan Minanga purba adalah begitu luas yaitu paling sedikit sebesar Marga Semendawai Suku III dan di sebelah barat berbatasan dengan daerah Kedaton ( Ogan Ulu Sumatera Selatan ).Karena langka nya peninggalan Sriwijaya dalam bentuk benda kepurbakalaan di manapun termasuk di daerah Minanga ( Komring Ulu sumatera selatan ) maka alternative lain yang harus di cari identitasnya ke dalam nilai-nilai Budaya dimana salah satu aspek budaya yang penting dan masih menonjol adalah Bahasa .
“ Bahasa adalah alat utama Kebudayaan. Tanpa Bahasa kebudayaan tidak mungkin ada. Kebudayaan tercermin dalam Bahasanya. ( S Gazalba 1966 : 102 ) “
Seperti di utarakan di muka bahwa rumpun Seminung mempunyai bahasa dan tulisan sendiri. Orang Rumpun Seminung tergolong suku Malayu Kuno ( Proto Malayan Tribes ), bahasanya banyak terdiri dari bahasa Malayu Kuno , bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta.
Bahasa Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu, dan prasasti lainnya dalam periode Shi-Li-Fo-Shih ( 670 s.d 742 Masehi ) adalah bahasa Malayu Kuno dan kausa katanya banyak yang tertinggal dalam bahasa Rumpun Seminung ( Komering, Daya,Ranau, Lampung ).
Sebagai perbandingan kita mengambil contoh adalah prasasti Telaga Batu : menurut bacaan dan terjemahan Prof.Dr.J.G. de Casparis dalam bukunya “ Selted inscription from the 7 th to the 9 th century A.D ( 1956 )” . Prasasti itu terdiri dari 28 baris dengan jumlah ±709 kata-kata yang sudah terbaca, dari kata-kata tersebut terbentuk ±311 bentukan kata yang tidak kurang dari 50 kata yang terbukti di pakai dalam bahasa Komering ( Rumpun Seminung ). Antara lain sebagai berikut :
Bahasa Sriwijaya Bahasa Komering Indonesia
( Prasasti Melayu Kuno )
- Awai - Awai - Memanggil
- Dangan - Jongan - Cara
- Hulun - Hulun - Orang asing
- Inan - Inan - Biarkan
- Katahuman - Katahuman - Tertangkap tangan
- Labhamamu - La(m)bahanmu - Tempat tinggalmu
- Mulam - Mulang - Kembali
- Mancaru - Macuaru - Mangacau/menghianat
- Muha - Muha - Angap ringan / boros
- Muah - Muah - Lagi / Masih ada
- Marpadah/Padah - Mapadah/Padah-Tanggulangi / Andalan
- Pira - Pira - Berapa
- Puhawam - Puhawang - Pawang / Peramal
- Ri - RI - Bersama
- Sarambat - Sarambat - Setangkai
- Talu - Talu - Kalah / tunduk
- Tapik/Manapik - Tapik/Manapik - Menghindar/elak/serang Tuhan - Tuhan - Milik Tidak teridentifikasinya Minanga Komring Ulu sebagai ibukota Sriwijaya selama ini di karenakan Para ahli sejarah tidak mengetahui bahwa ada Minanga di daerah Komering Ulu Sumatera Selatan yang berada di Muara Sungai di tepi Pantai pada waktu itu, sehingga orang mencari Minanga di luar Sumatra Selatan di dasarkan kepada semata-mata kesamaan bunyi dan penggantian huruf.Penelitian Geomorfologi semata-mata di tujukan hanyalah penelitian kedudukan Jambi dan Palembang apakah berada di tepi pantai atau tidak pada jaman Sriwijaya Minanga dalam Prasasti kedukan bukit di satukan dengan kata Tamvan sebagai Toponim (nama tempat ), Minanga yang tersebut dalam prasasti kedukan bukit di tafsirkan sebagai daerah yang ditundukkan oleh sriwijaya hanya semata-mata untuk memperkuat Palembang sebagai ibukota Kerajaan.
Para ahli sejarah hanya mau mengakui sesuatu atau mengarahkan penelitian pada suatu tempat kalau sudah ada bukti arkeologis di ketemukan lebih dahulu, sedangkan sumber sejarah bukan terletak kepada benda arkeologis semata, tetapi juga dalam bentuk ciri-ciri budaya, bahasa dan lain-lain peninggalan kebudayaan masa lampau yang dapat di jadikan petunjuk awal.Karena tidak di ketahui bahwa Minanga ada di Komering Ulu Sumatera Selatan maka ia tersisihkan dari obyek penelitian sehingga tidak di temukan benda-benda yang bersifat arkeologis. Benda-benda arkeologis itu hanya di tunggu atau di harapkan untuk di ketemukan secara kebetulan seperti yang kita alami sekarang.Legenda Minanga Sigonong-Gonong )
Di angkat dari Buku :
Periodisasi Kerajaan Sriwijaya
Karangan : H.M. Arlan Ismail, SH ( 2003 )

4 komentar:

Putra Sriwijaya mengatakan...

sangat menarik untuk dipelajari, kenapa tidak kalau ini bukti sejarah ada media untuk mempromosikan agar para arkeolog dapat melakukan penelitian di darah menanga... ayo bro sebarkan info ini biar bisa ditemukan jejak peninggalan Kerajaan Besar Sriwijaya...

Unknown mengatakan...

Insyaa ALLAH kebenaran sejarah akan segera terungkap,bukan untuk mengagungkan salah satu suku,ras,ataupun agama,,,
Hanya untuk pembelajaran generasi mendatang,bahwa di masa lampau,negeri ini adalah negeri yg besar,makmur,kuat
Dan semoga generasi mendatang bisa mencontoh dan mengembalikan kebesaran negri ini seperti masa lampau....

PURNAMA SARI UTAMI mengatakan...

Ya benar..

PURNAMA SARI UTAMI mengatakan...

Assalamu alaikum wr.wb. adik RAFELTA TUSKA PUTRA (KANDO).. ayuk singgah pai di blog mu yo... ayuk perkenalkan diri dulu yo dek..
Nama ayuk panjang nian.. tapi cukup dipanggil yuk Sari... terlahir dari orangtua yang kedua2nya berasal dari desa minanga

Posting Komentar